INDONESIA BUKAN LAGI NEGARA BERKEMBANG?

Kemerdekaan Indonesia sejak lebih dari 70 tahun yang lalu tidak lantas membuat Indonesia lekas menjadi negara berkembang. Mengapa demikian? Pasti banyak diantara anda sekalian bertanya-tanya bahkan secara sepihak mampu menuding siapa pihak yang paling bersalah dalam kejadian ini. Kita berkaca pada tetangga kita, sebut saja Singaphore. Seberapa luas wilayahnya? Seberapa banyak sumber daya alam yang dia miliki? Dalam lingakaran ASEAN, Singaphore lah yang bertengger di atas negara-negara lain, disisi lain Singaphore merdeka tahun 1965 dengan luas wilayah setara DKI Jakarta, kabar buruknya adalah Singaphore berusia 20 tahun lebih muda dari Indonesia. Pertanyaanya adalah, mengapa “adik” Indonesia ini bisa menjadi negara maju? terlepas dari isu SARA di Indonesia yang kini sedang memanas, bagaimana langkah strategis yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan tersebut? Dalam artikel kali ini akan dibahas tentang hambatan Indonesia dan solusi untuk menghantarkan Indonesia menjadi negara maju ditinjau dari perspektif pendidikan.

Buat anda yang membutuhkan jasa backlink bisa kunjungi jasaseobacklink.id terpercaya dan amanah.

INDONESIA BUKAN LAGI NEGARA BERKEMBANG?

Mengapa sampai sekarang Indonesia “masih” berkembang? 

Jika kita berbicara tentang masalah yang menjadi penghambat untuk Indonesia menjadi negara maju, ada 1001 masalah, saking banyaknya. Mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, politik, sosial-budaya, hingga ke ranah hukum. Namun sejatinya, jika diklasifikasikan, maka tampak bahwa akar dari segala masalah ini terletak pada sektor pendidikan dan hukum. Mengapa demikian? Sebab, terdapat sedikitnya lima penghambat pokok yang memang berasal dari kelompok tersebut. Lima penghambat tersebut diantaranya; ledakan demografi, supremasi hukum, pengangguran, rendahnya produktivitas, ketergantuangan pada sektor agraris. Kelima pokok ini jika dijabarkan akan sampai pada rendahnya pendapatan per kapita, penguasaan teknologi rendah, ketergantungan pada produk ekspor, dan lain-lain. Kita uraian satu persatu secara singkat dan padat.

1. Ledakan demografi. Mengapa ini menghambat jalan menuju negara maju?. Naasnya, seringkali yang memiliki banyak anak adalah mereka dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, dengan kata lain, ledakan demografi tidak dibarengi dengan pendapatan. Kesuksesan Soeharto dalam program Keluarga Berencana tidak berlanjut pada masa reformasi hingga sekarang. Jika kondisi ini tetap berlanjut nantinya akan berdampak pada ketersediaan lapangan kerja, rendahnya angka harapan hidup, munculnya pekerja anak, keterbatasan daya tampung sekolah, dan krisis pangan. Padahal salah satu indikator negara maju adalah tingkat pertumbuhan dan komposisi penduduknya.

2. Supremasi hukum. Banyak kalangan dari para aktivis mempertanyakan sebenarnya hukum di Indonsia berdaulat atau tidak. Hal ini terjadi lantaran banyak sekali kasus pelanggaran hukum yang tidak mendapat sanksi yang sewajarnya; ada kasus bocah nyolong sandal terancam hukuman 5 tahun, ada koruptor yang jelas merugikan negara dan rakyat mendapat kesempatan untuk mengajukan banding, dan masih banyak lagi. Selama supremasi hukum di Indonesia tidak memiliki kedaulatan yang nyata di mata masyarakat, tidak akan tercipta sinergitas antara rakyat dengan pemerintah. Sebab, nilai kredibilitas pemerintah anjlok dan berdampak pada meningkatnya tingkat kriminalitas, kenakalan remaja, dan bangkitnya praktik KKN yang secara otomatis “menggandoli” kemajuan negara.

3. Pengangguran. Pengangguran bagi sebagian negara merupakan aib yang harus ditutupi, namun apa daya memang begini adanya. Pengangguran merupakan “simbol” tidak maksimalnya keterserapan tenaga kerja, yangmana seringkali terjadi lantaran pertumbuhan penduduk tinggi sedangkan kesempatan kerja rendah, terlebih lagi perkembangan teknologi memunculkan alat yang dapat menggantikan tenaga manusia. Pengangguran berdampak pada rendahnya pendapatan perkapita, jika pendapatan perkapita rendah maka Indonesia tidak bisa memenangkan indikator untuk meraih predikat negara maju.

4. Rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh rendahnya pula faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi. Hal ini berdampak pula pada daya penghasilan masyarakat yang secara idak langsung mempengaruhi pendapatan perkapita dan kemiskinan.

5. Ketergantungan pada sektor pertanian. Sektor pertanian memang menjadi primadona sejak jaman kerajaan dan jaman penjajahan di Indonesia, namun bagaimana dengan sekarang? Apakah kita harus meninggalkan pertanian? Tidak. Asalkan jangan ketergantungan/aditif. Dengan kata lain kita harus menyiapkan Plan B. Banyak kalangan yang sudah menyadari akan hal ini dan sudah mulai melirik sektor industri dan pariwisata. Jika terlalu bergantung pada sektor pertanian maka kita hanya akan menjadi pasar atas produk industri pupuk dan obat-obatan tanaman dari negara lain.

Bagaimana solusi untuk Indonesia menjadi negara maju dari perspektif pendidikan?

Sudah barang tentu banyak orang menjadikan sistem pendidikan sebagai “kambing hitam” atas keburukan yang terjadi di masyarakat, banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur memancing tuduhan bahwa kampus tidak membekali kompetensi wirausaha, banyaknya lulusan SMK yang tidak bekerja memancing tuduhan pendidikan telah gagal dalam mencetak calon ahli dalam  bidang tertentu. Namun demikian, penulis sampai sekarang masih percaya pada ungkapan Nelson Mandela; education is the most powerful weapons which you can use to change the world. Bahwa pendidikan adalah senjata paling mematikan untuk mengubah dunia. Terbukti Finlandia, Australia, Singapura, dan Jepang adalah negara-negara yang maju dengan sistem pendidikannya. Jika dikaji pada kurikulum dan kebijakkanya bukan menjiplak pada negara lain, melainkan menyesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik warganya. Bagaimana dengan Indonesia? Apa yang dibutuhkan? Bagaimana dengan warganya?. Yang kita butuhkan adalah kesejahteraan yang adil untuk mencapai gelar negara maju. Sedangkan masyarakat kita majemuk-sensitif. Bagaimana sistem pendidikan yang ideal untuk Indonesia? Jalan yang paling sesuai adalah Optimalisasi Pendidikan Vokasi dan Kampus Berbasis Riset. Mengapa demikian? lulusan pendidikan vokasi (SMK dan Politeknik) merupakan lulusan yang didesain untuk berdiri di garis depan dalam mengatasi kebutuhan sektor ekonomi. Pendidikan vokasi dirasa sangat perlu karena memiliki paradigma yang menekankan pada pendidikan yang menyesuaikan dengan permintaan pasar (demand driven) guna mendukung pembangunan ekonomi kreatif. Ketersambungan (link) diantara pengguna lulusan pendidikan dan penyelenggara pendidikan dan kecocokan (match) antara employee dengan employer menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan vokasi. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan vokasi dapat dilihat dari tingkat mutu dan relevansi yaitu jumlah penyerapan lulusan dan kesesuaian bidang. Banyaknya lulusan pendidikan vokasi yang menganggur, saat ini menjadi bahan perbincangan hangat di lingkungan kemendikbud dan kemenristek, terbukti dari pengalaman penulis beberapa waktu lalu saat mengikuti seleksi beasiswa S2, isu ini paling banyak diangkat untuk dijadikan bahan uji. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pendidikan vokasional merupakan pencetak kontributor tenaga ahli pada era industrialisasi baik pada tataran SMK ataupun Politeknik.

Langkah kongkret yang perlu dilakukan adalah membagi rasio pembelajaran praktik:teori menjadi 70:30. Hal ini bertujuan untuk menyuplai tenaga ahli terlebih dulu. Reformasi dalam hal materi dan sistem PSG/PKL juga perlu untuk dirubah agar PSG/PKL lebih lama dan bersifat ikatan kontrak magang dengan perusahaan pasca lulus. Dengan demikian maka pengalaman di bidangnya akan lebih banyak, adapun materi, melalui kurikulum ditambahkan dasar dan pengembangan ilmu kewirausahaan, agar lulusan pendidikan vokasi bukan saja menjadi pencari lapangan kerja, namun ketika lapangan kerja itu tidak sesuai atau tidak ada, dia bisa menjadi pencipta lapangan kerja. Kebijakan ini perlu juga didukung oleh supremasi hukum yang jelas terutama tentang kerjasama dengan perusahaan. Adapun kampus berbasis riset yang dimaksud adalah materi ajar yang digunakan bukan merupakan adopsi dari luar negeri, namun dari hasil penelitian dosen atau guru besar Indonesia, sebab jika adopsi materi dari luar negeri, meski itu adalah hasil riset namun tidak sesuai dengan lingkungan Indonesia karena riset mereka lakukan terhadap lingkungan sosial si periset, bukankah nantinya ilmunya akan diaplikasikan untuk Indonesia? Maka akan sangat penting mengumpulkan materi dari hasil riset kepada masyarakat Indonesia. Kebijakan pendidikan tentang pendidikan vokasi dapat dipergunakan secara maksimal untuk mengatasi masalah pokok nomor 3, 4, dan 5. Adapaun kampus berbasis riset akan sangat membantu dalam menyelsaikan masalah dalam nomor 1 dan 2. Melalui cara-cara ini maka bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara majud dalam waktu singkat, sebagaimana kemajuan Singaphore yang mengalami kemajuan dalam berbagai bidang dengan signifikan.
Lebih baru Lebih lama