DISPARITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

DISPARITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA - Apa yang ada dalam pikiran anda ketika mendengar “Pendidikan di Indonesia? Prestasi? Kenekalan remaja? Bullying? Ujian Nasional? Bangku sekolah? Tawuran pelajar?. Cabe-cabean? #oops.

Dunia pendidikan kita memang penuh warna, betapa tidak, disamping banyaknya berita tentang tawuran pelajar di Jakarta, demo oleh mahasiswa dihari-hari besar nasional, fenomena putus sekolah, ternyata terdapat kesenajngan (disparitas) yang amat nyata di masyarakat kita. Ya, kali ini kita akan mempelajari tentang disparitas pendidikan di Indonesia. Secara umum disparitas diartikan sebagai jarak atau perbedaan. Lalu apa yang dimaksud disparitas pendidikan, adalah jarak atau perberdaan atau kesenajangan dalam dunia pendidikan kita. Contoh, sebagaimana ditulis Seftiawan dalam pikiran-rakyat.com (edisi 10 desember 2016), bahwasannya Indonesia meraih 5 medali emas Olimpiade Sains Junior Internasional (IJSO) ke-13 tahun 2016, Indriani melalui antaranews.com (edisi 21 Agustus 2016) juga menuliskan bahwa pelajar Indonesia meraih juara dalam ajang kompetisi matematika internasional Thailand International Mathematics Competition (TIMC) 2016 di Chiang Mai, Thailand. Disisi lain, luput dari sekian banyak prestasi pelajar Indonesia dalam ajang olimpiade di dunia internasional. Pernahkan kita melirik masyarakat marginal yang merasa bisa sekolah samapi jenjang SMP saja bangganya minta ampun. pernahkah kita membayangkan bagaimana jika kita yang sekarang bisa membaca artikel ini, memperoleh akses internet, dan bisa buka akun sosial media berada di posisi mereka yang untuk membeli satu buku tulis saja harus menabung satu minggu?.

Pada dasarnya disparitas adalah wajar terdapat dalam setiap masyarakat di negara maju, apalagi Indonesia. Disparitas ini dilatar belakangi oleh banyak hal, namun yang paling “bersalah” lagi-lagi faktor ekonomi yang hampir selalu diiringi dengan tuduhan korupsi oleh para pejabat. Jika anda ingin melihat secara nyata atau bahkan secara langsung ingin merasakan seperti apa rasanya menjadi kaum marginal, berkunjunglah ke daerah 3T, disana biasanya anda akan menemukan masyarakat yang sederhana dalam aspek ekonomi, tapi istimewa dalam hal ahlak dan tindak-tanduk. Pengalaman penulis dalam melakukan pengabdian sebagai volunteer di pengajar (bersama Unej Mengajar) di daerah 3T kabupaten Jember, menemukan siswa yang sekolah SD tidak bersepatu, buku tulis untuk sekolah bergantian dengan adiknya, dan sambil berjualan es lilin. Sungguh sangat miris kondisi tersebut. Penulis melihat siswa SD di Jember kota bisa bersekolah dengan seragam lengkap, punya kotak pensil sendiri bahkan sekolah diantar oleh orang tuanya dengan mobil, membuat penulis sadar bahwa betapa lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jika yang miskin kesulitan mendapat akses pendidikan, dan jika si kaya dengan mudah memperoleh pendidikan, maka yang akan terjadi adalah yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Sebab, pendidikan adalah tiket utama untuk memperoleh kesejahteraan di negeri ini. Apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi ini? mereka masyarakat, kita juga masyarakat. Mereka manusia begitu pula kita. Jika kita merasa keberatan dengan memberikan materi, mari kita memberikan ide. Anda bisa bergabung dengan berbagai gerakan sosial yang memfokuskan aktivitasnya pada pengabdian masyarakat. Bahkan anda bisa bergabung dengan gerakan Indonesia Mengajar, SM3T, Kelas Inspirasi, dan lain sebagainya.
Lebih baru Lebih lama