KENAKALAN REMAJA SEBAGAI DAMPAK KEGAGALAN PENDIDIKAN INFOMAL

KENAKALAN REMAJA SEBAGAI DAMPAK KEGAGALAN PENDIDIKAN INFOMAL - Sayang sekali sebagian besar masyarakat indonesia hanya mengartikan pendidikan sebagi instansi pemerintah yang disebut sekolah. Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha manusia secara sadar dan terencana untuk memanusiakan manusia, dalam artian memperlakukan manusia lain layaknya sebagai manusia. Ketika anak yang sudah melalui proses pendidikan namun tidak bisa memperlakukan manusia lain layaknya manusia, maka pendidikan yang dilalui oleh orang tersebut dapat dikatakan sebagai pendidikan yang gagal / kurang maksimal. Siapa kemudian yang patut disalahkan atas kegagalan atau kurang maksimalnya pendidikan tersebut? Orang bijak pernak berkata “daripada mencari siapa yang salah, akan lebih baik mencari solusinya”. Hal itu memang dapat pula dibenarkan, namun demikian, ibarat ingin menyembuhkan orang sakit, kita harus mencari tahu dulu apa penyebab rasa sakit tersebut. Jika sudah ketemu maka kita bisa mengambil tindakan untuk menyembuhkannya. Celakanya, tanpa mengetahui apa sebabnya masyaraakt atau orang tua sering kali menuding pihak sekolah atas terjadinya kegagalan pendidikan pada anaknya, entah tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, balap liar, dan lain sebagainya. Pihak sekolah yang jarang mau disalahkan juga kembali menuding orang tua atas kegagalan dalam mendidik anak ketika dirumah. Namun terlepas dari lempar tanggung  jawab yang mereka lakukan, pemerintah tak lantas “adem ayem” saja, pemerintah diaggap pihak paling bersalah karena dituduh tidak bisa menciptakan sistem pendidikan yang dapat mengembangkan potensi siswa dan mencapai tujuan pendidikan sebagaimana termaktub dalam undang-undang. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas kenakalan remaja sebagai representasi kegagalan pendidikan ini?

Berhubung penulis adalah orang yang concern dalam bidang pendidikan, maka akan penulis ulas sedikit tentang pendidikan dan kaitannya dengan kenakalan remaja. Oke.. mari kita mulai. Pendidikan pada dasarnya ada tiga; pendidian formal (sekolah/madrasah), pendidikan informal (keluarga), nonformal (masyarakat/lingkungan sosial). Nah, pendidikan formal merupakan pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah melalui sekolah dengan kurikulum sebagai jalan tunggal untuk menentukan arah pendidikan di sekolah. Kita semua tahu bahwa pendidikan di sekolah jelas tidak mungkin mengajaran sesuatu yang buruk kepada anak didiknya. Semua yang dimuat dalam kurikulum sudah disesuaikan dengan undang-undang, heterogenitas masyrakat, dan perkembangan teknologi. Mengenai guru, mungkin masih perlu dipertanyakan, sebab memang ada 4 kompetensi guru yang tercantum dalam undang-undang yang tidak semua guru memenuhi kompetensi tersebut secara maksimal. Terlebih lagi guru sukwan dengan gaji rendah, yang secara otomatis (mayoritas) akan mempengaruhi semangat dan kinerja guru. Jika hal ini yang terjadi, bukan tidak mungkin aktivitas mengajar bukan sebagai mendidik, tapi mencari uang. Motif yang salah inilah yang mungkin berkontribusi pada gagalnya pendidikan. Belum lagi pergaulan antar siswa di sekolah. Jenjang sekolah dasar memang menyediakan pergaulan kekanak-kanakan, namun begitu masuk jenjang SMP dan SMA dimana siswa masuk dalam masa pubertas, masa mencari jati diri, sangat rentan tejadinya kenakalan remaja. Disinilah garis start untuk para pendidik saling berhati-hati. Pada masa ini tampaknya pendidikan informal dan pendidikan non formal lah yang paling banyak memasok karakter siswa. Pendidikan informal adalah pendidikan yang dijalankan oleh keluarga, tanpa adanya kurikulum, tanpa adanya media dan alat peraga dalam pembelajaran, pendidian informal dapat menjalankan kewajibannya. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang berdasar pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, terutama norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Keluarga lah yang paling bertanggung jawab tas karakter siswa ketika dia tidak berada di lingkungan sekolah.

Sedangkan pendidikan non formal adalah pendidikan yang dijalankan oleh masyarakat. Pendidikan ini sangat rumit dan kompleks, sebab meresap pada sendi – sendi pergaulan si anak. Betapapun pendidikan formal berusah keras dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan malui mata pelajaran PKn dan Pend. Agama, namun jika tidak aplikatif di masyarakat maka hasil pendidikan adalah nihil. Waktu 24 jam yang dimiliki setiap manusia (termasuk siswa) dihabiskan di sebanyak 6 sampai 7 jam di sekolah, sedangkan sisanya dihabiskan di lingungan keluarga / masyarakat, sehingga tidak dapat dipungkiri memang pendidikan informal dan non formal paling berpengaruh dalam kepribadian anak. Jika diranking dengan acuan pengaruh terbesar maka juaranya adalah pendidikan informal, mengapa? sebab keluarga adalah masyarakat pertama bagi si anak, segala modal dalam bersosialisasi dilingkungan masyarakat maupun lingkunga sekolah bersumber dari keluarga. Dapat dibuktikan, seburuk apapun lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, jika lingkungan keluarga tetap baik dalam menanamkan nilai-nilai karakter budi pekerti luhur, maka pengaruh buruk dari luar tidak akan merubah karakter si anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran sentral dalam pendidikan sebenarnya bukan pada pihak sekolah ataupun pemerintah, namun “KELUARGA”. Oleh sebab itu, jika ingin mendapatkan generasi yang baik, maka perbaikilah keluarga. Namun sayangnya, tidak semua orang memiliki keluarga yang baik, keluarga broken home kerap kali menjadi pengahalang. Penulis memiliki banyak rekan dengan keluarga bermasalah, dan sepengamatan penulis, terdapat dua kemungkinan dampak terhadap anak; anak menjadi tangguh, tahan banting, dan dewasa. Atau menjadi anak yang bandel/nakal. Hal ini bukan ditentukan oleh anak itu sendiri, melainkan ditentukan oleh pihak ke tiga, yaitu sahabat dan keluarga sekundernya (kakek/nenek/paman, dll).

Sementara cukup sampai disini dulu pembahasan tentang pendidikan informal, lain kali akan penulis bahas tentang pendidikan dalam perspektif etnosains. Semoga bermanfaat dan wassalamualaikum wr wb.
Lebih baru Lebih lama